Jumat, 22 Juli 2016

analisis struktur cerpen "Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu" karya Indra Tranggono

ANALISIS STRUKTUR CERPEN
“Mbah Mahdi Dan Cerita Pagi Itu” Karya Indra Tranggono
A.   Deskripsi Data
Pulau Jawa banyak melahirkan sastrawan-sastrawan ternama yang diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia. Kenyataan ini didukung oleh keikutsertaan sastrawan yang berasal diberbagai daerah di Pulau Jawa. Nama sastrawan-sastrawan di Pulau Jawa seperti Achdiat K. Mihardja, Ahmad Tohari, Ajip Rosidi, Akhudiat, Arifin C. Noer, Budi Darma, Danarto, Djamil Suherman, Goenawan Mohamad, Hartoyo Andangjaya, Ike Soepomo, Indra Tranggono, Kirdjomuljo, Kuntowijoyo, M. Saribi Afn,
Mohammad Diponegoro, Muhammad Ali, Mustofa Bisri, N. Riantiarno, Nh. Dini, Nugroho Notosusanto, Piek Ardijanto Soeprijadi, Pramudya Ananta Toer, Putu Wijaya, Ramadhan KH, Rendra, Saini K.M., Sanento Yuliman, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, SN Ratmana, Subagio Sastrowardoyo, Titie Said, Titis Basino, Toeti Heraty Noerhadi, Toha Mochtar, Toto Sudarto Bachtiar, Umar Kayam, Utuy Tatang Sontani dan sebagainya.
1.      Biografi Tokoh
Penulis yang bernama lengkap Indra Tranggono ini lahir di Yogyakarta, pada tanggal 24 Maret 1960. Beliau bertempat tinggal di Tegal Senggotan, Yogyakarta. Keaktifan dalam menulis cerpen telah mengatarkan beliau pada jajaran sastrawan terkemuka di Yogyakarta. Disamping menulis cerpen, beliau juga giat membuat naskah drama antara lain yang berjudul “Monumen”.
Mengenyam pendidikan di Tamansiswa, sejak SMP hingga perguruan tinggi. Namun beliau tidak merampungkan kuliahnya karena alasan pekerjaan. Tetapi itu tak menyurutkan semangatnya sebagai seorang sastrawan. Terbukti dengan beberapa kejuaraan, seperti juara penulisan cerpen dan puisi oleh Dewan Kesenian DIY pada tahun 1980-an dan tahun 1990.
Beliau kini menjabat sebagai salah satu anggota Dewan Kebudayaan Bantul dan pernah pula menggeluti dunia jurnalistik. Saat dirinya menjadi wartawan Harian Masa Kini dan Bernas pada tahun 1980-an. Beliau juga merupakan salah satu pendiri Komunitas Pak Kanjeng bersama Emha Ainun Nadjib dan kawan-kawan serta Komunitas Seni Kua Etnika bersama Djaduk Feriyanto, Butet Kertaradjasa dan kawan-kawan.
Kini selain menjadi penulis lepas di berbagai media massa, beliau juga banyak memberi workshop sastra, teater, dan lain-lain.
2.      Sinopsis Cerpen “Mbah Mahdi Dan Cerita Pagi Itu” Karya Indra Tranggono
Lelaki yang bernama Imam Mahdi atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mahdi adalah lelaki tua yang berusaha menyadarkan setiap manusia dari kegelapan zaman. Mbah Mahdi dulu seorang pegawai negeri, tapi kini sudah lama pensiun. Dia bekerja di departemen yang mengurusi agama dan rajin turun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan agama ke mana-mana. Dengan senyumannya yang selalu mengembang, dia selalu mengatakan kiamat sudah dekat dan bertobatlah.
Meskipun banyak cobaan yang melemahkan semangat Mbah Mahdi, dia selalu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat dan mencoba untuk menyadarkan orang-orang pada jalan keselamatan.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama merasa risih dengan perilaku Mbah Mahdi. Dan Mbah Mahdi menyuruh mereka pergi dari rumahnya.
Pagi itu, tak seperti biasanya, Mbah Mahdi sudah dandan rapi dan hanya kain putih yang dibebatkan di seluruh badannya. Dia juga mengenakan semacam surban di kepalanya.  Mbah Mahdi menuju di sebuah rumah mewah berlantai empat, dan ingin menemui Pak Brosman, pemilik rumah mewah ini. Setelah masuk kedalam rumah, ruangan itu sangat luas, penuh cahaya. Dipandangi lampu-lampu kristal, dinding-dinding yang seolah terbuat dari cahaya. Tujuan Mbah Mahdi datang kerumah Pak Brosman adalah untuk menyadarkan bahwa kiamat itu sudah dekat. Namun, Pak Brosman tidak percaya semua perkataan Mbah Mahdi.
Mbah Mahdi dipentalkan dan diempaskan ke pohon besar, sehingga Mbah Mahdi pingsan. Beberapa menit, mata Mbah Mahdi pelan-pelan terbuka dan sudah berada dihutan dengan daun-daun yang rimbun.
Sejak saat itu, setiap memandang daun atau benda apa saja yang terserak di tanah, Mbah Mahdi selalu merasakan ada sinar ungu kehitaman yang mengancam dirinya. Dia menyebutnya daun-daun dosa yang terus tumbuh memenuhi dunia.
B.   Analisis Data
1.      Struktur Cerpen
Karya sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. (Nurgiyantoro, 2010:23).
a.       Unsur intrinsik
Unsur intrinsik inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur tersebut, antara lain:
1)      Tokoh dan Penokohan
Nurgiyantoro (2005: 176-194), menerangkan bahwa peran tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis.
a)      Mbah Mahdi (Imam Mahdi)
Tokoh Imam Mahdi merupakan sosok lelaki tua, pada 15 tahun lalu ialah seorang pegawai negeri di departemen yang mengurusi agama dan rajin turun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan agama serta turut mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat maka bertobatlah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Jalan keselamatan  selalu terbuka bagi siapa pun. Tuhan Maha Pengampun. Pulanglah. Tuhan pasti menyelamatkan kamu,” ujar Mbah Mahdi pada seorang perempuan pekerja seks komersial di dekat rel kereta api
“Kenapa malu?! Aku tidak mencuri, merampok, meneror atau membunuh!! Kalian pikir aku lebih rendah dari orang-orang nista itu?!” Mbah Mahdi meradang. “Aku sedang menyelamatkan umat manusia! Paham?
Kata-kata Brosman itu mencabik-cabik jiwa Mbah Mahdi. “Tapi, iman itu ada. Harus ada. Manusia tidak lahir dari rekahan batu. Tapi diciptakan Tuhan. Manusia hidup tak lepas dari kehendak Tuhan. Itulah pentingnya iman.”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa pengarang menunjukkan tokoh Mbah Mahdi merupakan seorang yang rajin memberikan penyuluhan agama dimana-mana serta memiliki sifat tidak menyerah untuk menyadarkan kepada orang-orang yang tidak percaya bahwa kiamat sudah dekat.
b)      Aku (Suami)
Tokoh Suami merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki rumah di dekat dengan rumah tokoh Mbah Mahdi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Setiap pagi, dia selalu membakar sampah, tepat di belakang rumahku, hingga aku tak pernah sempat menikmati udara bersih dan segar.
Seperti mendapat kesempatan, istriku yang selalu melarang aku merokok pun nerocos, …
“Mungkin dia sentimen pada kita?” kataku sambil mengambil bakwan jagung hangat di piring.
“Mungkin dia sengaja meneror kita, biar kita tidak betah tinggal di sini.” Kupindahkan cangkir agar lebih jauh dari tumpukan kertas di mejaku.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa kata “istriku” yang terdapat dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Aku merupakan seorang kepala keluarga atau Suami dan pada kata “di belakang rumah” menunjukkan bahwa rumah tokoh Aku (Suami) berada di dekat rumah tokoh Mbah Mahdi. Pada kutipan kata “mungkin”, menggambarkan bahwa tokoh Aku (Suami) memiliki sifat yang suka menduga-duga.
c)      Istri
Tokoh Istri merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki rumah di dekat dengan rumah tokoh Mbah Mahdi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Kenapa dia selalu bakar sampah di belakang rumah kita? Itu pertanyaannya yang paling tepat,” ujar istriku sambil menuangkan teh panas ke cangkir tembikar.
Seperti mendapat kesempatan, istriku yang selalu melarang aku merokok pun nerocos, “Demi Tuhan, segala asap itu berbahaya. Mestinya sampah itu kan ditimbun di dalam lubang. Lebih sehat. Bisa jadi pupuk.”
Istriku menyodorkan lombok rawit, langsung kugigit dan kukunyah bersama bakwan. Tapi yang kunikmati bukan rasa gurih, cuma pedas.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa kata “menuangkan teh panas dan menyodorkan Lombok rawit” yang terdapat dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Istri merupakan seorang Ibu Rumah Tangga atau Istri. Dan pada kutipan kata “nerocos”, tokoh Istri yang digambarkan memiliki sifat yang cerewet.
d)     Perempuan (Pekerja Seks Komersial)
Perempuan yang berada didekat rel kereta api merupakan seorang ibu yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
 “Kalau saya diselamatkan, saya malah rugi, Mbah. Tak ada pemasukan! Anak-anak saya makan apa?” ujar Perempuan PSK.
“Bertobat? Maaf hari ini tidak butuh bertobat. Aku butuh uang untuk berobat. Anak saya sakit,” PSK  itu ngeloyor pergi mendatangi lelaki berjaket kulit hitam.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa pengarang menunjukkan tokoh Perempuan Pekerja Seks Komersial merupakan seorang ibu yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial yang memiliki sifat “tidak percaya dan tidak peduli untuk bertobat”.
e)      Istri Mbah Mahdi
Istri Mbah Mahdi merupakan seorang ibu yang memiliki anak-anak dari suaminya (Mbah Mahdi). Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama risih dengan perilaku Mbah Mahdi. Selain menganggap tindakan itu sia-sia, mereka juga malu.
Istri dan anak-anaknya terdiam, tak paham. Ketidakcocokan sikap itu ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari rumahnya.
“Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya berkemas-kemas meninggalkan rumah.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa pengarang menggambarkan tokoh Istri Mbah Mahdi adalah seorang ibu yang memiliki beberapa anak dan merasa risih serta malu terhadap perilaku tokoh Mbah Mahdi.
f)       Anak-Anak Mbah Mahdi
Anak-anak Mbah Mahdi merupakan beberapa tokoh yang menjadi anak-anaknya Mbah Mahdi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama risih dengan perilaku Mbah Mahdi. Selain menganggap tindakan itu sia-sia, mereka juga malu.
Istri dan anak-anaknya terdiam, tak paham. Ketidakcocokan sikap itu ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari rumahnya.
“Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya berkemas-kemas meninggalkan rumah.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa pengarang menggambarkan beberapa tokoh anak adalah anak-anaknya Mbah Mahdi dan  merasa risih serta malu terhadap perilaku tokoh Mbah Mahdi.
g)      Penjaga Keamanan
Penjaga Keamanan merupakan tokoh seorang lelaki yang kekar. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Kedatangannya langsung disergap seorang penjaga keamanan.
“Bapak siapa? Mau apa?!” gertak lelaki kekar itu.
Lelaki kekar itu langsung meringkus Mbah Mahdi dan menggelandangnya di pos satuan pengaman. “Bapak harus diperiksa. Jangan-jangan membawa bom. Lihat, tas itu. Buka!”
Lelaki kekar itu mengangkat HP-nya, bicara seperlunya. “Bapak dipersilakan masuk, tapi tetap saya awasi. Dan tas itu jangan dibawa. Tuan Brosman tidak suka melihat tas menggelembung macam itu.” Lelaki kekar langsung menyita tas.
Lelaki kekar itu tertawa. Tubuh Mbah Mahdi diangkatnya, lalu diempaskan. Kepala Mbah Mahdi terbentur pohon besar. Kepalanya berdarah. Mbah Mahdi pingsan.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa pengarang menggambarkan penjaga keamanan memiliki badan yang kekar dan memiliki sifat keras dan kasar.
h)      Pak Brosman
Pak Brosman merupakan tokoh lelaki yang berwajah tampan, berpenampilan dendy, berbadan tegap, bersih dan serba klimis. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Pak Brosman, lelaki bewajah tampan dan berpenampilan dendy itu tersenyum.
Brosman tersenyum, sinis. “Iman? Saya lebih suka menyebutnya mitos. Dia tak lebih dari  kepercayaan yang setiap hari dipupuk agar tumbuh menguat, sehingga orang bisa sedikit tenang bisa bersandar kepadanya. Iman cuma dibutuhkan orang-orang lemah dan  kalah, seperti bapak.”
“Manusia? Ooo Anda salah alamat. Aku bukan manusia. Atau setidaknya tidak terlalu memikirkannya. Aku eksistensi yang mandiri.”
“Aku Brosman! Tak penting lagi status. Manusia. Monster. Buaya. Serigala. Ular Piton. Atau tikus! Semua tak penting. Status hanya mengingatkan aku pada sejarah. Dan aku sudah tidak butuh sejarah. Aku hidup sekarang. Selamanya.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa tokoh Pak Brosman merupakan seorang yang kaya raya dan menentang terhadap kepercayaan iman serta kiamat.
2)      Plot/Alur
Plot/Alur merupakan unsur cerita fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menanggapinya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur cerita fiksi yang lain. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 113) mengemukakan bahwa Plot / Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Untuk menemukan struktur alur yang digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini, peneliti berusaha melihat rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.
1.            Keberadaan tokoh Mbah Mahdi pada setiap pagi membakar sampah tepat di belakang rumah tokoh Suami .
2.            Percakapan antara tokoh Suami dan Istri tentang permasalahan Mbah Mahdi yang selalu membakar sampah tepat dibelakang rumah mereka.
3.            Tokoh Suami membayangkan wajah Mbah Mahdi yang selalu tersenyum.
4.            Ingatan tokoh Suami kembali mengingat pada peristiwa hampir 15 tahun yang lalu: saat pertama kali ia mengenal Mbah Mahdi.
4.1.      Mengingat, dulu Mbah Mahdi bekerja di departemen yang mengurusi agama dan rajin turun ke masyrakat memberikan penyuluhan agama.
4.2.      Percakapan antara tokoh Mbah Mahdi dengan seorang perempuan pekerja seks komersial untuk menyadarkannya kembali ke jalan yang benar.
4.3.      Ketidakcocokan dengan tokoh Istri dan Anak-anak Mbah Mahdi.
4.4.      Pagi itu, Mbah Mahdi pergi berjalan dan di ikuti oleh anak-anak kecil.
4.5.      Mbah Mahdi pergi ke rumah mewah berlantai empat.
4.6.      Kedatangan Mbah Mahdi disergap seorang penjaga keamanan.
4.7.      Penjaga keamanan menyita tas yang dibawa Mbah Mahdi.
4.8.      Percakapan antara tokoh Mbah Mahdi dan Pak Brosman tentang maksud kedatangan Mbah Mahdi.
4.9.      Pertentangan tokoh Pak Brosman mengenai ketidakpercayaan Pak Brosman terhadap kiamat yang diucapkan oleh tokoh Mbah Mahdi.
4.10.  Mbah Mahdi dipentalkan dan diempaskan hingga kepala terbentur pohon besar dan berdarah, lalu Mbah Mahdi pingsan.
4.11.  Mbah Mahdi sudah berada di hutan dan melihat daun-daun yang rimbun, membayangkan bahwa itu adalah sinar ungu kehitaman atau kegelapan yang tumbuh dalam diri manusia.
4.12.  Sejak saat itu, setiap Mbah Mahdi melihat daun yang berserak di tanah. Maka  Mbah Mahdi selalu membakarnya termasuk daun-daun yang berada dibelakang rumah tokoh Suami.
5.            Setiap tokoh Suami menatap wajah Mbah Mahdi, dia selalu tersenyum.
 


                1                  2                      3                      5
                        Bagan 1.1  Urutan Sekuen Cerpen “Mbah Mahdi Dan Cerita Pagi Itu”

Bulatan yang tidak tertutup menunjukkan lamunan, sedangkan angka menunjukkan sekuen. Cerpen ini terdiri dari 5 sekuen berada pada saat penceritaan,  dan 12 sekuen berada pada sorot balik (4.1-4.12),  jadi seluruhnya ada 17 sekuen. Apabila diperhatikan, jumlah sekuen pada sorot balik (12 sekuen) lebih banyak daripada jumlah sekuen pada saat penceritaan. Maka jelaslah bahwa secara kronologis alur cerpen ini disusun menggunakan alur mundur atau sorot balik. Pada bagian awal cerpen ini terlihat saat tokoh Suami mengingat kembali peristiwa 15 tahun yang lalu.
3)      Latar/ Setting
Ruang lingkup sebuah karya sastra fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia yang dibangun oleh si pengarang. Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah tempat yang diciptakan; melainkan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan diuraikan latar tempat dan latar waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh di dalam cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a)      Latar tempat
Belakang rumah merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Dibelakang rumah tersebut pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami tokoh Suami dan Istri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Kenapa dia selalu bakar sampah di belakang rumah kita? Itu pertanyaannya yang paling tepat,” ujar istriku sambil menuangkan teh panas ke cangkir tembikar.
Aku terdiam. Terbayang wajah Mbah Mahdi, lelaki tua yang selalu tersenyum padaku. Tak kutemukan segaris pun guratan kejahatan di wajahnya, atau sepercik kelicikan di matanya
Setiap kutatap wajah tua itu, Mbah Mahdi selalu tersenyum.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa belakang rumah yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan latar tempat yang secara langsung dan selalu terjadi antara tokoh Mbah Mahdi dan Suami-Istri.
Rel kereta api merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Di dekat rel kereta api tersebut pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami tokoh Perempuan pekerja seks komersial. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Mbah Mahdi rajin turun ke masyarakat untuk  memberikan penyuluhan agama ke mana-mana. Dia merasa seperti membawa obor ke ruang-ruang gelap, di kampung-kampung, di terminal-terminal, di pangkalan-pangkalan pelacur jalanan dan para pemabuk.
“Jalan keselamatan selalu terbuka bagi siapa pun. Tuhan Maha Pengampun. Pulanglah. Tuhan pasti menyelamatkan kamu,” ujar Mbah Mahdi pada seorang perempuan pekerja seks komersial di dekat rel kereta api.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa dekat rel kereta api yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat yang secara langsung terjadi antara Mbah Mahdi dan Perempuan Pekerja Seks Komersial. Dalam hal ini, Mbah Mahdi selalu mencoba mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat, dan bertobatlah. Meskipun banyak hal yang terjadi, salah satunya cacian yang didapat. Mbah Mahdi tetap mengabarkan dan mencoba menyadarkan mereka menuju jalan kebenaran.
Rumah merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Rumah Mbah Mahdi tersebut pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami tokoh Istri Mbah Mahdi dan Anak-anaknya . Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Ketidakcocokan sikap itu ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari rumahnya. “Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya berkemas-kemas meninggalkan rumah.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa rumah yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat yang secara langsung terjadi antara Mbah Mahdi, Istri, dan Anak-anaknya.
Jalan, dan tikungan jalan merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Jalan, dan tikungan jalan tersebut pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami tokoh Anak-anak yang mengikutinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Dia mantap berjalan meninggalkan rumah. Di sepanjang jalan, anak-anak kecil mengikutinya. Mereka mengira Mbah Mahdi pengamen keliling yang siap menawarkan cerita, dongeng atau fragmen. Anak-anak itu akhirnya berbelok ke tikungan, karena Mbah Mahdi tidak segera menunjukkan aksinya.
Rumah mewah, halaman luas, taman asri, kolam renang, gazebo, pos satuan pengaman, kantor satuan pengamanan, ruangan, kompleks rumah mewah, dan hutan merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Langkah Mbah Mahdi sampai di sebuah rumah mewah berlantai empat. Ada halaman luas, taman asri, kolam renang dan beberapa gazebo. Beberapa mobil tampak diparkir di situ.
Lelaki kekar itu langsung meringkus Mbah Mahdi dan menggelandangnya di pos satuan pengaman. “Bapak harus diperiksa. Jangan-jangan membawa bom. Lihat, tas itu. Buka!
Ruangan itu sangat luas, penuh cahaya. Dipandangi lampu-lampu kristal, dinding-dinding yang seolah terbuat dari cahaya.
Mbah Mahdi terpental hingga  ke kantor satuan pengamanan.
Dia tidak lagi melihat kompleks rumah mewah. Semua sudah berubah menjadi hutan yang ditumbuhi pohon, dengan daun-daun yang rimbun.
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Rumah mewah, pos satuan pengaman, kantor satuan pengamanan, ruangan, kompleks rumah mewah yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat yang secara langsung terjadi antara Mbah Mahdi, Pak Brosman, Penjaga keamanan. Sedangkan hutan yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat yang secara langsung terjadi pada Mbah Mahdi.
Pohon-pohon rumah, dibelakang rumah merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Maka, dia pun selalu membakarnya, termasuk daun-daun yang tumbuh di pohon-pohon rumahnya, di belakang rumahku.
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat yang secara langsung terjadi antara tokoh Mbah Mahdi dan Suami-Istri.
b)      Latar waktu 
Latar waktu digunakan dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa terjadi. Latar waktu pada cerpen ini sangat erat kaitannya dengan latar tempat yang sudah dipaparkan sebelumnya. Latar waktu dalam cerpen ini dimulai pada setiap pagi hari, saat Mbah Mahdi membakar sampah daun-daun tepat dibelakang rumah milik tokoh Suami-Istri. Disana ingatan tokoh Suami, kembali mengingat peristiwa yang terjadi selama mengenal Mbah Mahdi dalam 15 tahun yang lalu.
Kukenal lelaki bernama lengkap Imam Mahdi itu, hampir 15 tahun lalu. Dulu, dia pegawai negeri, tapi kini sudah pensiun agak lama. Dia kerja di departemen yang mengurusi agama. Atas kehendak pribadi, Mbah Mahdi rajin turun ke masyarakat untuk  memberikan penyuluhan agama ke mana-mana. Dia merasa seperti membawa obor ke ruang-ruang gelap, di kampung-kampung, di terminal-terminal, di pangkalan-pangkalan pelacur jalanan dan para pemabuk. Dengan senyumnya yang selalu mengembang, dia selalu bilang, “Ingat, kiamat sudah dekat. Bertobatlah!
Latar waktu yang ditampilkan dalam kutipan di atas menggambarkan bahwa Mbah Mahdi dulu merupakan seorang yang bekerja di departemen yang mengurusi agama. Dan berkaitan dengan kutipan sebelumnya, perhatikan kutipan berikut.
Mbah Mahdi memandang bulan yang ditelan gumpalan awan hitam.
Latar waktu yang ditampilkan dalam kutipan di atas, telah tergambar jelas bahwa pada saat peristiwa itu terjadi adalah pada malam hari dengan gumpalan awan hitam yang menutupi bulan. Dan pada saat itu pula, sangat mendukung perasaan yang dialami Mbah Mahdi yaitu seakan bulan itu seperti jalan kebenaran dan awan hitam seperti kegelapan zaman yang ada di dalam diri manusia. Dan selanjutnya, latar waktu yang terjadi dalam cerpen ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Pagi itu, tak seperti biasanya, Mbah Mahdi sudah dandan rapi. Dia tidak mengenakan celana panjang dan jas kebanggaannya, tapi kain putih yang dibebatkan di seluruh badan. Dia juga mengenakan semacam surban di kepalanya. Dua telapak kakinya mengenakan sandal kulit, dengan tali-temali yang diikatkan di bawah lututnya.
Sejak saat itu, setiap memandang daun atau benda apa saja yang terserak di tanah, Mbah Mahdi selalu merasakan ada sinar ungu kehitaman yang mengancam dirinya.
Latar waktu yang ditampilkan dalam kutipan di atas bahwa Mbah Mahdi pergi keluar rumah pada pagi hari dan setiap Mbah Mahdi melihat ada sesuatu yang berserakan, dia selalu membakar apapun itu yang membuatnya merasa terancam dari sinar ungu kehitaman yang mengancam dirinya.
4)      Tema
Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68), tema merupakan gagasan dasar yang merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Tema merupakan pokok permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam cerpen. Karena tema cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang, maka untuk mempermudah menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik utama yang mendukung terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai berikut.
Atas kehendak pribadi, Mbah Mahdi rajin turun ke masyarakat untuk  memberikan penyuluhan agama ke mana-mana. Dengan senyumnya yang selalu mengembang, dia selalu bilang, “Ingat, kiamat sudah dekat. Bertobatlah!”
Cercaan, ejekan bahkan makian tak pernah menyurutkan semangat Mbah Mahdi untuk selalu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat. Tenaganya justru bertambah berlipat-lipat untuk menyadarkan orang pada jalan keselamatan.
Di benaknya, selalu terbayang wajah nabi atau orang-orang suci yang tidak pernah menyerah mengabarkan kebaikan. Tak peduli dengan semua akibat, dari diancam, disakiti, bahkan dibunuh.
Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa tema yang diangkat oleh pengarang dalam cerpen ini menyangkut permasalahan keimanan dan keyakinan umat manusia terhadap kiamat untuk kembali ke jalan kebenaran dan keselamatan.
Tokoh Pak Brosman (pemilik rumah mewah dengan tingkat empat) dalam cerpen ini merupakan tokoh yang paling menentang terhadap ucapannya Mbah Mahdi. Pak Brosman menganggap imam itu adalah mitos yang dimiliki oleh orang-orang lemah. Sehingga Pak Brosman, tak membutuhkan iman dan juga sejarah tentang pencipta manusia, menganggap dia akan hidup selamanya atau kekal.
5)      Gaya
Aminuddin (1987:76) menerangkan bahwa gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya lewat media bahasa yang indah dan harmonis meliputi aspek-aspek : (1) pengarang, (2) ekspresi, (3) gaya bahasa. Sebab itulah ada pendapat yang menjelaskan bahwa gaya adalah orangnya atau pengarangnya karena lewat gaya kita dapat mengenal bagaimana sikap dan endapan pengetahuan, pengalaman dan gagasan pengarangnya.
Pada cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu”, pengarang menggambarkan gaya cerita yang mudah dipahami, sehingga pembaca dapat mengerti dalam penafsiran arah jalan cerita yang digambarkan ataupun diceritakan oleh pengarang. Sebagai cara, teknik maupun bentuk pengekspresian suatu gagasan itulah yang disebut dengan gaya.
6)      Sudut Pandang (Point Of View)
Menurut Booth (dalam Nurgiyantoro, 2005:249) sudut pandang (point of view) merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:248) Point of view adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya sastra (Abrams, 1981 : 142).
Pada cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu”, Pengarang berperan sebagai tokoh sampingan yang merupakan orang yang bercerita dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang mencerikan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentang dirinya sebagai pencerita.
7)      Amanat
Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat utama harus merujuk pada tema. Pesan moral lainnya dapat ditemukan tersebar dalam cerita. Amanat yang disampaikan oleh pengarang merupakan janganlah menyerah dan tetaplah meyakinkan seluruh umat manusia bahwa kiamat sudah dekat dan bertobatlah menuju keselamatan di dunia dan di akhirat.


C.   Lampiran
Cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu” Karya Indra Tranggono (Kompas, 10 April 2016)
Mbah Mahdi selalu menghidangkan kejengkelan kepadaku. Setiap pagi, dia selalu membakar sampah, tepat di belakang rumahku, hingga aku tak pernah sempat menikmati udara bersih dan segar.
“Kenapa dia selalu bakar sampah di belakang rumah kita? Itu pertanyaannya yang paling tepat,” ujar istriku sambil menuangkan teh panas ke cangkir tembikar.
Seperti mendapat kesempatan, istriku yang selalu melarang aku merokok pun nerocos, “Demi Tuhan, segala asap itu berbahaya. Mestinya sampah itu kan ditimbun di dalam lubang. Lebih sehat. Bisa jadi pupuk.”
“Mungkin dia sentimen pada kita?” kataku sambil mengambil bakwan jagung hangat di piring.
Istriku memandangku dengan tatapan aneh, “Selama ini hubungan kita baik-baik aja dengan dia. Bahkan, aku sering kasih pinjaman uang pada istrinya.”
Istriku menyodorkan lombok rawit, langsung kugigit dan kukunyah bersama bakwan. Tapi yang kunikmati bukan rasa gurih, cuma pedas.
“Mungkin dia sengaja meneror kita, biar kita tidak betah tinggal di sini.” Kupindahkan cangkir agar lebih jauh dari tumpukan kertas di mejaku.
“Mengusir kita? Ini kan rumah kita sendiri, mas.”
“Apa pun bisa dilakukan, kalau sudah tidak senang. Bagi dia yang penting kita jadi tidak nyaman. Lalu pergi dari sini.”
“Tapi apa alasannya, mas?”
“Ya, dia tidak senang pada kita.”
“Kenapa dia tidak senang?
Aku terdiam. Terbayang wajah Mbah Mahdi, lelaki tua yang selalu tersenyum padaku. Tak kutemukan segaris pun guratan kejahatan di wajahnya, atau sepercik kelicikan di matanya.
***
Kukenal lelaki bernama lengkap Imam Mahdi itu, hampir 15 tahun lalu. Dulu, dia pegawai negeri, tapi kini sudah pensiun agak lama. Dia kerja di departemen yang mengurusi agama. Atas kehendak pribadi, Mbah Mahdi rajin turun ke masyarakat untuk  memberikan penyuluhan agama ke mana-mana. Dia merasa seperti membawa obor ke ruang-ruang gelap, di kampung-kampung, di terminal-terminal, di pangkalan-pangkalan pelacur jalanan dan para pemabuk. Dengan senyumnya yang selalu mengembang, dia selalu bilang, “Ingat, kiamat sudah dekat. Bertobatlah!”
Tentu, orang-orang tertawa. Tapi Mbah Mahdi tidak tersinggung, apalagi marah. Sejak zaman nabi, orang-orang sesat selalu percaya diri, bahkan sombong, tapi mereka pasti bisa dikalahkan,  begitu dia membatin.  Karena itu, dada  Mbah Mahdi selalu mengembang. Mulut dan hatinya tak henti-henti mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat maka bertobatlah.
“Jalan keselamatan  selalu terbuka bagi siapa pun. Tuhan Maha Pengampun. Pulanglah. Tuhan pasti menyelamatkan kamu,” ujar Mbah Mahdi pada seorang perempuan pekerja seks komersial di dekat rel kereta api.
“Kalau saya diselamatkan, saya malah rugi, Mbah. Tak ada pemasukan! Anak-anak saya makan apa?” ujar Perempuan PSK.
Mbah Mahdi menatap PSK itu. Dia bilang, “Masih terbayang  jalan Tuhan di matamu.”
“Aku lebih memilih jalan uang,” PSK itu tertawa.
“Tapi jalan Tuhan itu langsung menembus sorga.”
“Sorga? Apa bener Tuhan berkenan menerima orang kotor macam aku?”
“Kalau kamu mau bertobat, apa saja mungkin.”
“Bertobat? Maaf hari ini tidak butuh bertobat. Aku butuh uang untuk berobat. Anak saya sakit,” PSK  itu ngeloyor pergi mendatangi lelaki berjaket kulit hitam.
Mbah Mahdi memandang bulan yang ditelan gumpalan awan hitam.
***
Cercaan, ejekan bahkan makian tak pernah menyurutkan semangat Mbah Mahdi untuk selalu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat. Tenaganya justru bertambah berlipat-lipat untuk menyadarkan orang pada jalan keselamatan.
Di benaknya, selalu terbayang wajah nabi atau orang-orang suci yang tidak pernah menyerah mengabarkan kebaikan. Tak peduli dengan semua akibat, dari diancam, disakiti, bahkan dibunuh. “Masih lumayan, aku kan cuma hidup melarat.” hibur Mbah Mahdi.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama risih dengan perilaku Mbah Mahdi. Selain menganggap tindakan itu sia-sia, mereka juga malu.
“Kenapa malu?! Aku tidak mencuri, merampok, meneror atau membunuh!! Kalian pikir aku lebih rendah dari orang-orang nista itu?!” Mbah Mahdi meradang. “Aku sedang menyelamatkan umat manusia! Paham?”
Istri dan anak-anaknya terdiam, tak paham. Ketidakcocokan sikap itu ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari rumahnya. “Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya berkemas-kemas meninggalkan rumah.
***
Pagi itu, tak seperti biasanya, Mbah Mahdi sudah dandan rapi. Dia tidak mengenakan celana panjang dan jas kebanggaannya, tapi kain putih yang dibebatkan di seluruh badan. Dia juga mengenakan semacam surban di kepalanya. Dua telapak kakinya mengenakan sandal kulit, dengan tali-temali yang diikatkan di bawah lututnya.
Dia mantap berjalan meninggalkan rumah. Di sepanjang jalan, anak-anak kecil mengikutinya. Mereka mengira Mbah Mahdi pengamen keliling yang siap menawarkan cerita, dongeng atau fragmen. Anak-anak itu akhirnya berbelok ke tikungan, karena Mbah Mahdi tidak segera menunjukkan aksinya.
Langkah Mbah Mahdi sampai di sebuah rumah mewah berlantai empat. Ada halaman luas, taman asri, kolam renang dan beberapa gazebo. Beberapa mobil tampak diparkir di situ.
Kedatangannya langsung disergap seorang penjaga keamanan.
“Bapak siapa? Mau apa?!” gertak lelaki kekar itu.
“Saya Mahdi. Imam Mahdi. E, kamu jangan kasar ya! Ingat kiamat sudah dekat. Bertobatlah!
Lelaki kekar itu langsung meringkus Mbah Mahdi dan menggelandangnya di pos satuan pengaman. “Bapak harus diperiksa. Jangan-jangan membawa bom. Lihat, tas itu. Buka!”
Mbah Mahdi membuka tasnya. Dikeluarkannya dua rantang berisi nasi dan sayur. Juga sebotol air putih.
“Bapak harus pergi dari sini!”
“Saya mau menemui  Pak Brosman.”
“Sudah janjian?”
“Tak perlu. Saya tahu juragan Anda itu orang baik. Pasti mau menerima.”
Lelaki kekar itu mengangkat HP-nya, bicara seperlunya. “Bapak dipersilakan masuk, tapi tetap saya awasi. Dan tas itu jangan dibawa. Tuan Brosman tidak suka melihat tas menggelembung macam itu.” Lelaki kekar langsung menyita tas.
Ruangan itu sangat luas, penuh cahaya. Dipandangi lampu-lampu kristal, dinding-dinding yang seolah terbuat dari cahaya.  Mbah Mahdi terpukau. Silau.
“Ini bukan rumah lagi, Pak. Tapi kerajaan,” gurau Mbah Mahdi membuka dialog.
Pak Brosman, lelaki bewajah tampan dan berpenampilan dendy itu tersenyum. Dia menawari berbagai minuman. Mbah Mahdi memilih air putih.
“Mungkin Bapak terkejut, menerima kedatangan saya.”
“Oo tidak. Sama sekali tidak. Saya biasa menerima tamu dadakan. Bukankah hidup tak selalu bisa direncanakan?” Pak Brosman tersenyum. Tatapannya membaca sosok Mbah Mahdi. Di matanya, wajah lelaki tua itu bercahaya, seluruh tubuhnya dikelilingi cahaya. Jangan-jangan dia malaikat, pikir Pak Brosman.
Diam-diam Mbah Mahdi pun membaca wajah dan tubuh Pak Brosman. Lelaki tegap, bersih dan serba klimis itu, di mata Mbah Mahdi, tampak seperti monster. Besar dan hitam. Matanya merah. Gigi dan taringnya tampak runcing dan tajam. Monster itu bergerak, mencakar-cakar bumi, menghisap seluruh isi bumi. Perutnya membesar dengan ukuran yang tak bisa dibayangkan.
“Ada yang aneh dalam diri saya, Pak?” ujar Pak Brosman.
Mbah Mahdi menggeleng. Kembali dia menatap Pak Brosman. Monster itu hendak mencekiknya. Mbah Mahdi melawan sekuat tenaga. Beruntung, dia lolos dari cekikan.
“Bapak hebat. Saya biasa menerima tamu orang-orang suci, tapi mereka tak sanggup bertahan lama di sini,” Pak Brosman menuang wine di gelas.
“Maksud Pak Brosman?”
“Saya tahu kedatangan bapak dan apa maunya bapak. Saya tidak percaya atas apa yang hendak bapak omongkan. Saya tidak percaya hari kiamat sudah dekat, karena saya tidak percaya hari kiamat itu ada. Hidup ini terlalu indah dan mewah untuk dipenggal dengan sebuah kiamat. Paham?!”
Mbah Mahdi tersengat. “Tapi kiamat benar-benar sudah di ambang pintu dunia.”
“Pintu dunia itu di mana? Di benua Amerika? Asia? Timur Tengah? Eropa? Atau Indonesia?”
“Di dalam rongga batin iman kita!”
Brosman tertawa. “Iman kita?”
“Ya, iman kita kepada Tuhan.”
Brosman tersenyum, sinis. “Iman? Saya lebih suka menyebutnya mitos. Dia tak lebih dari  kepercayaan yang setiap hari dipupuk agar tumbuh menguat, sehingga orang bisa sedikit tenang bisa bersandar kepadanya. Iman cuma dibutuhkan orang-orang lemah dan  kalah, seperti bapak.”
Kata-kata Brosman itu mencabik-cabik jiwa Mbah Mahdi. “Tapi, iman itu ada. Harus ada. Manusia tidak lahir dari rekahan batu. Tapi diciptakan Tuhan. Manusia hidup tak lepas dari kehendak Tuhan. Itulah pentingnya iman.”
“Manusia? Ooo Anda salah alamat. Aku bukan manusia. Atau setidaknya tidak terlalu memikirkannya. Aku eksistensi yang mandiri.”
“Maksud, Pak Brosman?”
“Aku Brosman! Tak penting lagi status. Manusia. Monster. Buaya. Serigala. Ular Piton. Atau tikus! Semua tak penting. Status hanya mengingatkan aku pada sejarah. Dan aku sudah tidak butuh sejarah. Aku hidup sekarang. Selamanya.”
Brosman mengembuskan napasnya kuat-kuat. Mbah Mahdi terpental hingga  ke kantor satuan pengamanan. Lelaki kekar itu tertawa. Tubuh Mbah Mahdi diangkatnya, lalu diempaskan. Kepala Mbah Mahdi terbentur pohon besar. Kepalanya berdarah. Mbah Mahdi pingsan.
Beberapa menit, mata Mbah Mahdi pelan-pelan terbuka. Dia tidak lagi melihat kompleks rumah mewah. Semua sudah berubah menjadi hutan yang ditumbuhi pohon, dengan daun-daun yang rimbun. Mata Mbah Mahdi melihat, setiap daun itu memancarkan sinar ungu kehitaman. Mbah Mahdi percaya, sinar itu sinar kegelapan, yang selalu tumbuh dan tumbuh dalam diri manusia.
Sejak saat itu, setiap memandang daun atau benda apa saja yang terserak di tanah, Mbah Mahdi selalu merasakan ada sinar ungu kehitaman yang mengancam dirinya. Dia menyebutnya daun-daun dosa yang terus tumbuh. Memenuhi dunia. Maka, dia pun selalu membakarnya, termasuk daun-daun yang tumbuh di pohon-pohon rumahnya, di belakang rumahku.

Setiap kutatap wajah tua itu, Mbah Mahdi selalu tersenyum. Mungkinkah dia melihat daun-daun dosa itu telah tumbuh lebat dalam diriku? Aku tak tahu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar