ANALISIS STRUKTUR
CERPEN
“Mbah Mahdi Dan Cerita Pagi
Itu” Karya Indra Tranggono
A.
Deskripsi Data
Pulau Jawa banyak melahirkan
sastrawan-sastrawan ternama yang diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia.
Kenyataan ini didukung oleh keikutsertaan sastrawan yang berasal diberbagai
daerah di Pulau Jawa. Nama sastrawan-sastrawan di Pulau Jawa seperti Achdiat K. Mihardja, Ahmad Tohari, Ajip
Rosidi, Akhudiat, Arifin C. Noer, Budi Darma, Danarto, Djamil Suherman,
Goenawan Mohamad, Hartoyo Andangjaya, Ike Soepomo, Indra Tranggono,
Kirdjomuljo, Kuntowijoyo, M. Saribi Afn,
Mohammad Diponegoro, Muhammad Ali, Mustofa Bisri, N. Riantiarno, Nh. Dini, Nugroho Notosusanto, Piek Ardijanto Soeprijadi, Pramudya Ananta Toer, Putu Wijaya, Ramadhan KH, Rendra, Saini K.M., Sanento Yuliman, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, SN Ratmana, Subagio Sastrowardoyo, Titie Said, Titis Basino, Toeti Heraty Noerhadi, Toha Mochtar, Toto Sudarto Bachtiar, Umar Kayam, Utuy Tatang Sontani dan sebagainya.
Mohammad Diponegoro, Muhammad Ali, Mustofa Bisri, N. Riantiarno, Nh. Dini, Nugroho Notosusanto, Piek Ardijanto Soeprijadi, Pramudya Ananta Toer, Putu Wijaya, Ramadhan KH, Rendra, Saini K.M., Sanento Yuliman, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, SN Ratmana, Subagio Sastrowardoyo, Titie Said, Titis Basino, Toeti Heraty Noerhadi, Toha Mochtar, Toto Sudarto Bachtiar, Umar Kayam, Utuy Tatang Sontani dan sebagainya.
1.
Biografi
Tokoh
Penulis
yang bernama lengkap Indra Tranggono ini lahir di Yogyakarta, pada tanggal 24
Maret 1960. Beliau bertempat tinggal di Tegal Senggotan, Yogyakarta. Keaktifan
dalam menulis cerpen telah mengatarkan beliau pada jajaran sastrawan terkemuka
di Yogyakarta. Disamping menulis cerpen, beliau juga giat membuat naskah drama
antara lain yang berjudul “Monumen”.
Mengenyam pendidikan di Tamansiswa, sejak SMP
hingga perguruan tinggi. Namun beliau tidak merampungkan kuliahnya karena
alasan pekerjaan. Tetapi itu tak menyurutkan semangatnya sebagai seorang
sastrawan. Terbukti dengan beberapa kejuaraan, seperti juara penulisan cerpen
dan puisi oleh Dewan Kesenian DIY pada tahun 1980-an dan tahun 1990.
Beliau kini menjabat sebagai salah satu
anggota Dewan Kebudayaan Bantul dan pernah pula menggeluti dunia jurnalistik.
Saat dirinya menjadi wartawan Harian Masa Kini dan Bernas pada tahun 1980-an.
Beliau juga merupakan salah satu pendiri Komunitas Pak Kanjeng bersama Emha
Ainun Nadjib dan kawan-kawan serta Komunitas Seni Kua Etnika bersama Djaduk
Feriyanto, Butet Kertaradjasa dan kawan-kawan.
Kini selain menjadi penulis lepas di berbagai
media massa, beliau juga banyak memberi workshop sastra, teater, dan lain-lain.
2.
Sinopsis
Cerpen “Mbah Mahdi Dan Cerita Pagi Itu” Karya Indra Tranggono
Lelaki
yang bernama Imam Mahdi atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mahdi adalah lelaki
tua yang berusaha menyadarkan setiap manusia dari kegelapan zaman. Mbah Mahdi
dulu seorang pegawai negeri, tapi kini sudah lama pensiun. Dia bekerja di departemen
yang mengurusi agama dan rajin turun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan
agama ke mana-mana. Dengan senyumannya yang selalu mengembang, dia selalu
mengatakan kiamat sudah dekat dan bertobatlah.
Meskipun banyak cobaan yang melemahkan
semangat Mbah Mahdi, dia selalu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat dan
mencoba untuk menyadarkan orang-orang pada jalan keselamatan.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama merasa
risih dengan perilaku Mbah Mahdi. Dan Mbah Mahdi menyuruh mereka pergi dari
rumahnya.
Pagi itu, tak seperti biasanya, Mbah Mahdi
sudah dandan rapi dan hanya kain putih yang dibebatkan di seluruh badannya. Dia
juga mengenakan semacam surban di kepalanya.
Mbah Mahdi menuju di sebuah rumah mewah berlantai empat, dan ingin
menemui Pak Brosman, pemilik rumah mewah ini. Setelah masuk kedalam rumah,
ruangan itu sangat luas, penuh cahaya. Dipandangi lampu-lampu kristal,
dinding-dinding yang seolah terbuat dari cahaya. Tujuan Mbah Mahdi datang
kerumah Pak Brosman adalah untuk menyadarkan bahwa kiamat itu sudah dekat.
Namun, Pak Brosman tidak percaya semua perkataan Mbah Mahdi.
Mbah Mahdi dipentalkan dan diempaskan ke pohon
besar, sehingga Mbah Mahdi pingsan. Beberapa menit, mata Mbah Mahdi pelan-pelan
terbuka dan sudah berada dihutan dengan daun-daun yang rimbun.
Sejak saat itu, setiap memandang daun atau
benda apa saja yang terserak di tanah, Mbah Mahdi selalu merasakan ada sinar
ungu kehitaman yang mengancam dirinya. Dia menyebutnya daun-daun dosa yang
terus tumbuh memenuhi dunia.
B.
Analisis Data
1.
Struktur
Cerpen
Karya
sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik
adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak
langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. (Nurgiyantoro, 2010:23).
a.
Unsur intrinsik
Unsur intrinsik inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur tersebut, antara lain:
1)
Tokoh dan Penokohan
Nurgiyantoro
(2005: 176-194), menerangkan bahwa peran tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya
fiksi dapat dibedakan ke
dalam
beberapa jenis.
a)
Mbah Mahdi (Imam
Mahdi)
Tokoh Imam Mahdi merupakan sosok lelaki tua, pada 15 tahun lalu ialah seorang pegawai negeri di
departemen yang mengurusi agama dan rajin turun ke masyarakat untuk memberikan
penyuluhan agama serta turut mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat maka bertobatlah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Jalan keselamatan selalu
terbuka bagi siapa pun. Tuhan Maha Pengampun. Pulanglah. Tuhan pasti
menyelamatkan kamu,” ujar Mbah Mahdi pada seorang perempuan pekerja seks komersial
di dekat rel kereta api
…
“Kenapa malu?! Aku tidak mencuri, merampok, meneror atau membunuh!!
Kalian pikir aku lebih rendah dari orang-orang nista itu?!” Mbah Mahdi
meradang. “Aku sedang menyelamatkan umat manusia! Paham?
…
Kata-kata Brosman itu mencabik-cabik jiwa Mbah Mahdi. “Tapi, iman itu
ada. Harus ada. Manusia tidak lahir dari rekahan batu. Tapi diciptakan Tuhan.
Manusia hidup tak lepas dari kehendak Tuhan. Itulah pentingnya iman.”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa pengarang menunjukkan
tokoh Mbah Mahdi merupakan seorang yang rajin memberikan penyuluhan agama
dimana-mana
serta memiliki sifat tidak menyerah untuk menyadarkan kepada orang-orang yang
tidak percaya bahwa kiamat sudah dekat.
b) Aku (Suami)
Tokoh Suami merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki rumah di dekat dengan rumah tokoh Mbah Mahdi. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut.
Setiap pagi, dia selalu membakar sampah, tepat di belakang rumahku,
hingga aku tak pernah sempat menikmati udara bersih dan segar.
…
Seperti mendapat kesempatan, istriku yang selalu melarang aku merokok
pun nerocos, …
“Mungkin dia sentimen pada kita?” kataku sambil mengambil bakwan
jagung hangat di piring.
…
“Mungkin dia sengaja meneror kita, biar kita tidak betah tinggal di
sini.” Kupindahkan cangkir agar lebih jauh dari tumpukan kertas di mejaku.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa kata “istriku” yang
terdapat dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Aku merupakan seorang
kepala keluarga atau Suami dan pada kata “di belakang rumah” menunjukkan bahwa rumah tokoh Aku
(Suami) berada di dekat rumah tokoh Mbah Mahdi. Pada kutipan kata “mungkin”,
menggambarkan bahwa tokoh Aku (Suami) memiliki sifat yang suka menduga-duga.
c) Istri
Tokoh Istri
merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki rumah di dekat dengan rumah tokoh Mbah Mahdi.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Kenapa dia selalu bakar sampah di belakang rumah kita? Itu
pertanyaannya yang paling tepat,” ujar istriku sambil menuangkan teh panas ke
cangkir tembikar.
Seperti mendapat kesempatan, istriku yang selalu melarang aku merokok
pun nerocos, “Demi Tuhan, segala asap itu berbahaya. Mestinya sampah itu kan
ditimbun di dalam lubang. Lebih sehat. Bisa jadi pupuk.”
Istriku menyodorkan lombok rawit, langsung kugigit dan kukunyah
bersama bakwan. Tapi yang kunikmati bukan rasa gurih, cuma pedas.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa kata “menuangkan teh panas dan menyodorkan Lombok rawit” yang terdapat dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa
tokoh Istri merupakan seorang Ibu Rumah Tangga atau Istri. Dan pada kutipan kata
“nerocos”, tokoh Istri yang digambarkan memiliki sifat yang cerewet.
d) Perempuan (Pekerja Seks Komersial)
Perempuan yang berada didekat rel kereta api merupakan seorang ibu yang
bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut.
“Kalau saya diselamatkan, saya
malah rugi, Mbah. Tak ada pemasukan! Anak-anak saya makan apa?” ujar Perempuan
PSK.
…
“Bertobat? Maaf hari ini tidak butuh bertobat. Aku butuh uang untuk
berobat. Anak saya sakit,” PSK itu
ngeloyor pergi mendatangi lelaki berjaket kulit hitam.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa pengarang menunjukkan
tokoh Perempuan Pekerja Seks Komersial merupakan seorang ibu yang bekerja
sebagai Pekerja Seks Komersial yang memiliki sifat “tidak percaya dan tidak peduli untuk bertobat”.
e) Istri Mbah Mahdi
Istri Mbah Mahdi merupakan seorang ibu yang memiliki anak-anak dari
suaminya (Mbah Mahdi). Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama risih dengan perilaku Mbah Mahdi.
Selain menganggap tindakan itu sia-sia, mereka juga malu.
Istri dan anak-anaknya terdiam, tak paham. Ketidakcocokan sikap itu
ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari
rumahnya.
“Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu
kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya
berkemas-kemas meninggalkan rumah.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa pengarang menggambarkan
tokoh Istri Mbah Mahdi adalah seorang ibu yang memiliki beberapa anak dan merasa risih serta malu
terhadap perilaku tokoh Mbah Mahdi.
f) Anak-Anak Mbah Mahdi
Anak-anak Mbah Mahdi merupakan beberapa tokoh yang menjadi anak-anaknya
Mbah Mahdi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama risih dengan perilaku Mbah Mahdi.
Selain menganggap tindakan itu sia-sia, mereka juga malu.
Istri dan anak-anaknya terdiam, tak paham. Ketidakcocokan sikap itu
ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari
rumahnya.
“Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu
kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya
berkemas-kemas meninggalkan rumah.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa pengarang menggambarkan
beberapa tokoh anak adalah anak-anaknya Mbah Mahdi dan merasa risih serta malu terhadap perilaku
tokoh Mbah Mahdi.
g) Penjaga Keamanan
Penjaga Keamanan merupakan tokoh seorang lelaki yang kekar. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut.
Kedatangannya langsung disergap seorang penjaga keamanan.
“Bapak siapa? Mau apa?!” gertak lelaki kekar itu.
Lelaki kekar itu langsung meringkus Mbah Mahdi dan menggelandangnya di
pos satuan pengaman. “Bapak harus diperiksa. Jangan-jangan membawa bom. Lihat,
tas itu. Buka!”
…
Lelaki kekar itu mengangkat HP-nya, bicara seperlunya. “Bapak
dipersilakan masuk, tapi tetap saya awasi. Dan tas itu jangan dibawa. Tuan
Brosman tidak suka melihat tas menggelembung macam itu.” Lelaki kekar langsung
menyita tas.
…Lelaki kekar itu tertawa. Tubuh Mbah Mahdi diangkatnya, lalu
diempaskan. Kepala Mbah Mahdi terbentur pohon besar. Kepalanya berdarah. Mbah
Mahdi pingsan.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa pengarang menggambarkan
penjaga keamanan memiliki badan yang kekar dan memiliki sifat keras dan kasar.
h) Pak Brosman
Pak Brosman merupakan tokoh lelaki yang berwajah tampan, berpenampilan
dendy, berbadan tegap, bersih dan serba klimis. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut.
Pak Brosman, lelaki bewajah tampan dan berpenampilan dendy itu
tersenyum.
Brosman tersenyum, sinis. “Iman? Saya lebih suka menyebutnya mitos.
Dia tak lebih dari kepercayaan yang
setiap hari dipupuk agar tumbuh menguat, sehingga orang bisa sedikit tenang
bisa bersandar kepadanya. Iman cuma dibutuhkan orang-orang lemah dan kalah, seperti bapak.”
…
“Manusia? Ooo Anda salah alamat. Aku bukan manusia. Atau setidaknya
tidak terlalu memikirkannya. Aku eksistensi yang mandiri.”
…
“Aku Brosman! Tak penting lagi status. Manusia. Monster. Buaya.
Serigala. Ular Piton. Atau tikus! Semua tak penting. Status hanya mengingatkan
aku pada sejarah. Dan aku sudah tidak butuh sejarah. Aku hidup sekarang.
Selamanya.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa tokoh Pak Brosman
merupakan seorang yang kaya raya dan menentang terhadap kepercayaan iman serta kiamat.
2)
Plot/Alur
Plot/Alur
merupakan unsur cerita fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang
menanggapinya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur cerita fiksi yang
lain. Stanton
(dalam Nurgiyantoro, 2005 : 113) mengemukakan bahwa Plot / Alur adalah cerita
yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain.
Untuk
menemukan struktur alur yang digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini,
peneliti berusaha melihat rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen.
Rangkaian peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Keberadaan tokoh Mbah
Mahdi pada setiap pagi membakar sampah tepat di belakang rumah tokoh Suami .
2.
Percakapan antara tokoh
Suami dan Istri tentang permasalahan Mbah Mahdi yang selalu membakar sampah tepat
dibelakang rumah mereka.
3.
Tokoh Suami
membayangkan wajah Mbah Mahdi yang selalu tersenyum.
4.
Ingatan tokoh Suami
kembali mengingat pada peristiwa hampir 15 tahun yang lalu: saat pertama kali
ia mengenal Mbah Mahdi.
4.1. Mengingat,
dulu Mbah Mahdi bekerja di departemen yang mengurusi agama dan rajin turun ke
masyrakat memberikan penyuluhan agama.
4.2. Percakapan
antara tokoh Mbah Mahdi dengan seorang perempuan pekerja seks komersial untuk
menyadarkannya kembali ke jalan yang benar.
4.3. Ketidakcocokan
dengan tokoh Istri dan Anak-anak Mbah Mahdi.
4.4. Pagi
itu, Mbah Mahdi pergi berjalan dan di ikuti oleh anak-anak kecil.
4.5. Mbah
Mahdi pergi ke rumah mewah berlantai empat.
4.6. Kedatangan
Mbah Mahdi disergap seorang penjaga keamanan.
4.7. Penjaga
keamanan menyita tas yang dibawa Mbah Mahdi.
4.8. Percakapan
antara tokoh Mbah Mahdi dan Pak Brosman tentang maksud kedatangan Mbah Mahdi.
4.9. Pertentangan
tokoh Pak Brosman mengenai ketidakpercayaan Pak Brosman terhadap kiamat yang
diucapkan oleh tokoh Mbah Mahdi.
4.10. Mbah
Mahdi dipentalkan dan diempaskan hingga kepala terbentur pohon besar dan
berdarah, lalu Mbah Mahdi pingsan.
4.11. Mbah
Mahdi sudah berada di hutan dan melihat daun-daun yang rimbun, membayangkan
bahwa itu adalah sinar ungu kehitaman atau kegelapan yang tumbuh dalam diri
manusia.
4.12. Sejak
saat itu, setiap Mbah Mahdi melihat daun yang berserak di tanah. Maka Mbah Mahdi selalu membakarnya termasuk
daun-daun yang berada dibelakang rumah tokoh Suami.
5.
Setiap tokoh Suami
menatap wajah Mbah Mahdi, dia selalu tersenyum.
![]() |
1 2 3 5
Bagan
1.1 Urutan Sekuen Cerpen “Mbah Mahdi Dan
Cerita Pagi Itu”
Bulatan
yang tidak tertutup menunjukkan lamunan, sedangkan angka menunjukkan sekuen.
Cerpen ini terdiri dari 5
sekuen berada pada saat penceritaan, dan
12 sekuen berada pada
sorot balik (4.1-4.12), jadi seluruhnya ada 17 sekuen. Apabila
diperhatikan, jumlah sekuen pada sorot balik (12 sekuen) lebih banyak daripada jumlah
sekuen pada saat penceritaan. Maka jelaslah bahwa secara kronologis alur cerpen
ini disusun menggunakan alur mundur atau sorot balik. Pada bagian awal cerpen
ini terlihat saat tokoh Suami mengingat
kembali peristiwa 15 tahun yang lalu.
3)
Latar/ Setting
Ruang
lingkup sebuah karya sastra fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia
yang dibangun oleh si pengarang. Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu
berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah
tempat yang diciptakan; melainkan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul
dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan diuraikan latar tempat dan latar
waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh di dalam
cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a)
Latar tempat
Belakang
rumah merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Dibelakang rumah tersebut
pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami tokoh
Suami dan Istri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Kenapa dia selalu bakar sampah di belakang
rumah kita? Itu pertanyaannya yang paling tepat,” ujar istriku sambil
menuangkan teh panas ke cangkir tembikar.
…
Aku terdiam. Terbayang wajah Mbah Mahdi,
lelaki tua yang selalu tersenyum padaku. Tak kutemukan segaris pun guratan
kejahatan di wajahnya, atau sepercik kelicikan di matanya
…
Setiap kutatap wajah tua itu, Mbah Mahdi
selalu tersenyum.
Dari
kutipan di atas dapat dilihat bahwa belakang rumah yang digambarkan oleh
pengarang didalam cerpen merupakan latar tempat yang secara langsung dan selalu
terjadi antara tokoh Mbah Mahdi dan Suami-Istri.
Rel
kereta api merupakan ruang statis dalam cerpen ini. Di dekat rel kereta api
tersebut pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami
tokoh Perempuan pekerja seks komersial. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut.
Mbah Mahdi rajin turun ke masyarakat
untuk memberikan penyuluhan agama ke
mana-mana. Dia merasa seperti membawa obor ke ruang-ruang gelap, di
kampung-kampung, di terminal-terminal, di pangkalan-pangkalan pelacur jalanan
dan para pemabuk.
“Jalan keselamatan selalu terbuka bagi siapa
pun. Tuhan Maha Pengampun. Pulanglah. Tuhan pasti menyelamatkan kamu,” ujar
Mbah Mahdi pada seorang perempuan pekerja seks komersial di dekat rel kereta
api.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa dekat
rel kereta api yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat
yang secara langsung terjadi antara Mbah Mahdi dan Perempuan Pekerja Seks
Komersial. Dalam hal ini, Mbah Mahdi selalu mencoba mengabarkan bahwa kiamat
sudah dekat, dan bertobatlah. Meskipun banyak hal yang terjadi, salah satunya
cacian yang didapat. Mbah Mahdi tetap mengabarkan dan mencoba menyadarkan
mereka menuju jalan kebenaran.
Rumah merupakan
ruang statis dalam cerpen ini. Rumah Mbah Mahdi tersebut pengarang
menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami tokoh Istri Mbah
Mahdi dan Anak-anaknya . Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Ketidakcocokan sikap itu ternyata mendorong
Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari rumahnya. “Sejak dulu,
nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil
memandangi istri dan anak-anaknya berkemas-kemas meninggalkan rumah.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa rumah
yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat yang secara
langsung terjadi antara Mbah Mahdi, Istri, dan Anak-anaknya.
Jalan, dan tikungan jalan merupakan ruang
statis dalam cerpen ini. Jalan, dan tikungan
jalan tersebut pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang
dialami tokoh Anak-anak yang mengikutinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut.
Dia mantap berjalan meninggalkan rumah. Di
sepanjang jalan, anak-anak kecil mengikutinya. Mereka mengira Mbah Mahdi
pengamen keliling yang siap menawarkan cerita, dongeng atau fragmen. Anak-anak
itu akhirnya berbelok ke tikungan, karena Mbah Mahdi tidak segera menunjukkan
aksinya.
Rumah mewah, halaman luas, taman asri, kolam
renang, gazebo, pos satuan pengaman, kantor satuan pengamanan, ruangan,
kompleks rumah mewah, dan hutan merupakan ruang statis dalam cerpen ini.
Pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa yang dialami oleh para
tokoh. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Langkah Mbah Mahdi sampai di sebuah rumah
mewah berlantai empat. Ada halaman luas, taman asri, kolam renang dan beberapa
gazebo. Beberapa mobil tampak diparkir di situ.
…
Lelaki kekar itu langsung meringkus Mbah Mahdi
dan menggelandangnya di pos satuan pengaman. “Bapak harus diperiksa.
Jangan-jangan membawa bom. Lihat, tas itu. Buka!”
…
Ruangan itu sangat luas, penuh cahaya.
Dipandangi lampu-lampu kristal, dinding-dinding yang seolah terbuat dari
cahaya.
…
Mbah Mahdi terpental hingga ke kantor satuan pengamanan.
…
Dia tidak lagi melihat kompleks rumah mewah.
Semua sudah berubah menjadi hutan yang ditumbuhi pohon, dengan daun-daun yang
rimbun.
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa
Rumah mewah, pos satuan pengaman, kantor satuan pengamanan, ruangan, kompleks
rumah mewah yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat
yang secara langsung terjadi antara Mbah Mahdi, Pak Brosman, Penjaga keamanan.
Sedangkan hutan yang digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat
yang secara langsung terjadi pada Mbah Mahdi.
Pohon-pohon rumah, dibelakang rumah merupakan
ruang statis dalam cerpen ini. Pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta
peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut.
Maka, dia pun selalu membakarnya, termasuk
daun-daun yang tumbuh di pohon-pohon rumahnya, di belakang rumahku.
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa yang
digambarkan oleh pengarang didalam cerpen merupakan tempat yang secara langsung
terjadi antara tokoh Mbah Mahdi dan Suami-Istri.
b)
Latar waktu
Latar
waktu digunakan dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa terjadi. Latar
waktu pada cerpen ini sangat erat kaitannya dengan latar tempat yang sudah
dipaparkan sebelumnya. Latar waktu dalam cerpen ini dimulai pada setiap pagi
hari, saat Mbah Mahdi membakar sampah daun-daun tepat dibelakang rumah milik
tokoh Suami-Istri. Disana ingatan tokoh Suami, kembali mengingat peristiwa yang
terjadi selama mengenal Mbah Mahdi dalam 15 tahun yang lalu.
Kukenal lelaki bernama lengkap Imam Mahdi itu,
hampir 15 tahun lalu. Dulu, dia pegawai negeri, tapi kini sudah pensiun agak
lama. Dia kerja di departemen yang mengurusi agama. Atas kehendak pribadi, Mbah
Mahdi rajin turun ke masyarakat untuk
memberikan penyuluhan agama ke mana-mana. Dia merasa seperti membawa
obor ke ruang-ruang gelap, di kampung-kampung, di terminal-terminal, di
pangkalan-pangkalan pelacur jalanan dan para pemabuk. Dengan senyumnya yang
selalu mengembang, dia selalu bilang, “Ingat, kiamat sudah dekat. Bertobatlah!”
…
Latar
waktu yang ditampilkan dalam kutipan di atas menggambarkan bahwa Mbah Mahdi
dulu merupakan seorang yang bekerja di departemen yang mengurusi agama. Dan
berkaitan dengan kutipan sebelumnya, perhatikan kutipan berikut.
Mbah Mahdi memandang bulan yang ditelan
gumpalan awan hitam.
Latar
waktu yang ditampilkan dalam kutipan di atas, telah tergambar jelas bahwa pada
saat peristiwa itu terjadi adalah pada malam hari dengan gumpalan awan hitam
yang menutupi bulan. Dan pada saat itu pula, sangat mendukung perasaan yang
dialami Mbah Mahdi yaitu seakan bulan itu seperti jalan kebenaran dan awan
hitam seperti kegelapan zaman yang ada di dalam diri manusia. Dan selanjutnya,
latar waktu yang terjadi dalam cerpen ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Pagi itu, tak seperti biasanya, Mbah Mahdi
sudah dandan rapi. Dia tidak mengenakan celana panjang dan jas kebanggaannya,
tapi kain putih yang dibebatkan di seluruh badan. Dia juga mengenakan semacam
surban di kepalanya. Dua telapak kakinya mengenakan sandal kulit, dengan
tali-temali yang diikatkan di bawah lututnya.
…
Sejak saat itu, setiap memandang daun atau
benda apa saja yang terserak di tanah, Mbah Mahdi selalu merasakan ada sinar
ungu kehitaman yang mengancam dirinya.
Latar waktu yang ditampilkan dalam kutipan di
atas bahwa Mbah Mahdi pergi keluar rumah pada pagi hari dan setiap Mbah Mahdi
melihat ada sesuatu yang berserakan, dia selalu membakar apapun itu yang
membuatnya merasa terancam dari sinar ungu kehitaman yang mengancam dirinya.
4)
Tema
Hartoko
dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68), tema merupakan gagasan dasar yang
merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Tema
merupakan pokok permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam
cerpen. Karena tema cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang,
maka untuk mempermudah menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik
utama yang mendukung terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai
berikut.
Atas kehendak pribadi, Mbah Mahdi rajin turun
ke masyarakat untuk memberikan
penyuluhan agama ke mana-mana. Dengan senyumnya yang selalu mengembang, dia
selalu bilang, “Ingat, kiamat sudah dekat. Bertobatlah!”
Cercaan, ejekan bahkan makian tak pernah
menyurutkan semangat Mbah Mahdi untuk selalu mengabarkan bahwa kiamat sudah
dekat. Tenaganya justru bertambah berlipat-lipat untuk menyadarkan orang pada
jalan keselamatan.
Di benaknya, selalu terbayang wajah nabi atau
orang-orang suci yang tidak pernah menyerah mengabarkan kebaikan. Tak peduli
dengan semua akibat, dari diancam, disakiti, bahkan dibunuh.
Berdasarkan
kutipan di atas jelaslah bahwa tema yang diangkat oleh pengarang dalam cerpen
ini menyangkut permasalahan keimanan dan keyakinan umat manusia terhadap kiamat
untuk kembali ke jalan kebenaran dan keselamatan.
Tokoh
Pak Brosman (pemilik rumah mewah dengan tingkat empat) dalam cerpen ini
merupakan tokoh yang paling menentang terhadap ucapannya Mbah Mahdi. Pak
Brosman menganggap imam itu adalah mitos yang dimiliki oleh orang-orang lemah.
Sehingga Pak Brosman, tak membutuhkan iman dan juga sejarah tentang pencipta
manusia, menganggap dia akan hidup selamanya atau kekal.
5)
Gaya
Aminuddin
(1987:76) menerangkan bahwa gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya lewat media bahasa yang indah dan harmonis meliputi aspek-aspek :
(1) pengarang, (2) ekspresi, (3) gaya bahasa. Sebab itulah ada pendapat yang
menjelaskan bahwa gaya adalah orangnya atau pengarangnya karena lewat gaya kita
dapat mengenal bagaimana sikap dan endapan pengetahuan, pengalaman dan gagasan
pengarangnya.
Pada cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu”,
pengarang menggambarkan gaya cerita yang mudah dipahami, sehingga pembaca dapat
mengerti dalam penafsiran arah jalan cerita yang digambarkan ataupun
diceritakan oleh pengarang. Sebagai cara, teknik maupun bentuk pengekspresian
suatu gagasan itulah yang disebut dengan gaya.
6)
Sudut Pandang (Point Of
View)
Menurut
Booth (dalam Nurgiyantoro, 2005:249) sudut pandang (point of view) merupakan
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya
artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Sedangkan
menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:248) Point of view adalah cara dan
atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut
pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya sastra (Abrams, 1981 : 142).
Pada cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu”, Pengarang
berperan sebagai tokoh sampingan yang merupakan orang
yang bercerita dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang mencerikan
peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. Sesekali
peristiwa itu juga menyangkut tentang dirinya sebagai pencerita.
7) Amanat
Amanat
adalah pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat utama harus
merujuk pada tema. Pesan moral lainnya dapat ditemukan tersebar dalam cerita. Amanat yang disampaikan oleh pengarang merupakan
janganlah menyerah dan tetaplah meyakinkan seluruh umat manusia bahwa kiamat
sudah dekat dan bertobatlah menuju keselamatan di dunia dan di akhirat.
C. Lampiran
Cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu” Karya Indra Tranggono (Kompas, 10
April 2016)
Mbah Mahdi selalu menghidangkan kejengkelan kepadaku. Setiap pagi, dia
selalu membakar sampah, tepat di belakang rumahku, hingga aku tak pernah sempat
menikmati udara bersih dan segar.
“Kenapa dia selalu bakar sampah di belakang rumah kita? Itu
pertanyaannya yang paling tepat,” ujar istriku sambil menuangkan teh panas ke
cangkir tembikar.
Seperti mendapat kesempatan, istriku yang selalu melarang aku merokok
pun nerocos, “Demi Tuhan, segala asap itu berbahaya. Mestinya sampah itu kan
ditimbun di dalam lubang. Lebih sehat. Bisa jadi pupuk.”
“Mungkin dia sentimen pada kita?” kataku sambil mengambil bakwan
jagung hangat di piring.
Istriku memandangku dengan tatapan aneh, “Selama ini hubungan kita
baik-baik aja dengan dia. Bahkan, aku sering kasih pinjaman uang pada
istrinya.”
Istriku menyodorkan lombok rawit, langsung kugigit dan kukunyah
bersama bakwan. Tapi yang kunikmati bukan rasa gurih, cuma pedas.
“Mungkin dia sengaja meneror kita, biar kita tidak betah tinggal di
sini.” Kupindahkan cangkir agar lebih jauh dari tumpukan kertas di mejaku.
“Mengusir kita? Ini kan rumah kita sendiri, mas.”
“Apa pun bisa dilakukan, kalau sudah tidak senang. Bagi dia yang
penting kita jadi tidak nyaman. Lalu pergi dari sini.”
“Tapi apa alasannya, mas?”
“Ya, dia tidak senang pada kita.”
“Kenapa dia tidak senang?”
Aku terdiam. Terbayang wajah Mbah Mahdi, lelaki tua yang selalu
tersenyum padaku. Tak kutemukan segaris pun guratan kejahatan di wajahnya, atau
sepercik kelicikan di matanya.
***
Kukenal lelaki bernama lengkap Imam Mahdi itu, hampir 15 tahun lalu.
Dulu, dia pegawai negeri, tapi kini sudah pensiun agak lama. Dia kerja di
departemen yang mengurusi agama. Atas kehendak pribadi, Mbah Mahdi rajin turun
ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan
agama ke mana-mana. Dia merasa seperti membawa obor ke ruang-ruang gelap, di
kampung-kampung, di terminal-terminal, di pangkalan-pangkalan pelacur jalanan
dan para pemabuk. Dengan senyumnya yang selalu mengembang, dia selalu bilang,
“Ingat, kiamat sudah dekat. Bertobatlah!”
Tentu, orang-orang tertawa. Tapi Mbah Mahdi tidak tersinggung, apalagi
marah. Sejak zaman nabi, orang-orang sesat selalu percaya diri, bahkan sombong,
tapi mereka pasti bisa dikalahkan,
begitu dia membatin. Karena itu,
dada Mbah Mahdi selalu mengembang. Mulut
dan hatinya tak henti-henti mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat maka
bertobatlah.
“Jalan keselamatan selalu
terbuka bagi siapa pun. Tuhan Maha Pengampun. Pulanglah. Tuhan pasti
menyelamatkan kamu,” ujar Mbah Mahdi pada seorang perempuan pekerja seks
komersial di dekat rel kereta api.
“Kalau saya diselamatkan, saya malah rugi, Mbah. Tak ada pemasukan!
Anak-anak saya makan apa?” ujar Perempuan PSK.
Mbah Mahdi menatap PSK itu. Dia bilang, “Masih terbayang jalan Tuhan di matamu.”
“Aku lebih memilih jalan uang,” PSK itu tertawa.
“Tapi jalan Tuhan itu langsung menembus sorga.”
“Sorga? Apa bener Tuhan berkenan menerima orang kotor macam aku?”
“Kalau kamu mau bertobat, apa saja mungkin.”
“Bertobat? Maaf hari ini tidak butuh bertobat. Aku butuh uang untuk
berobat. Anak saya sakit,” PSK itu
ngeloyor pergi mendatangi lelaki berjaket kulit hitam.
Mbah Mahdi memandang bulan yang ditelan gumpalan awan hitam.
***
Cercaan, ejekan bahkan makian tak pernah menyurutkan semangat Mbah
Mahdi untuk selalu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat. Tenaganya justru
bertambah berlipat-lipat untuk menyadarkan orang pada jalan keselamatan.
Di benaknya, selalu terbayang wajah nabi atau orang-orang suci yang
tidak pernah menyerah mengabarkan kebaikan. Tak peduli dengan semua akibat,
dari diancam, disakiti, bahkan dibunuh. “Masih lumayan, aku kan cuma hidup
melarat.” hibur Mbah Mahdi.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama risih dengan perilaku Mbah Mahdi.
Selain menganggap tindakan itu sia-sia, mereka juga malu.
“Kenapa malu?! Aku tidak mencuri, merampok, meneror atau membunuh!!
Kalian pikir aku lebih rendah dari orang-orang nista itu?!” Mbah Mahdi
meradang. “Aku sedang menyelamatkan umat manusia! Paham?”
Istri dan anak-anaknya terdiam, tak paham. Ketidakcocokan sikap itu
ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari
rumahnya. “Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu
kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya
berkemas-kemas meninggalkan rumah.
***
Pagi itu, tak seperti biasanya, Mbah Mahdi sudah dandan rapi. Dia
tidak mengenakan celana panjang dan jas kebanggaannya, tapi kain putih yang
dibebatkan di seluruh badan. Dia juga mengenakan semacam surban di kepalanya.
Dua telapak kakinya mengenakan sandal kulit, dengan tali-temali yang diikatkan
di bawah lututnya.
Dia mantap berjalan meninggalkan rumah. Di sepanjang jalan, anak-anak
kecil mengikutinya. Mereka mengira Mbah Mahdi pengamen keliling yang siap
menawarkan cerita, dongeng atau fragmen. Anak-anak itu akhirnya berbelok ke
tikungan, karena Mbah Mahdi tidak segera menunjukkan aksinya.
Langkah Mbah Mahdi sampai di sebuah rumah mewah berlantai empat. Ada
halaman luas, taman asri, kolam renang dan beberapa gazebo. Beberapa mobil
tampak diparkir di situ.
Kedatangannya langsung disergap seorang penjaga keamanan.
“Bapak siapa? Mau apa?!” gertak lelaki kekar itu.
“Saya Mahdi. Imam Mahdi. E, kamu jangan kasar ya! Ingat kiamat sudah
dekat. Bertobatlah!”
Lelaki kekar itu langsung meringkus Mbah Mahdi dan menggelandangnya di
pos satuan pengaman. “Bapak harus diperiksa. Jangan-jangan membawa bom. Lihat,
tas itu. Buka!”
Mbah Mahdi membuka tasnya. Dikeluarkannya dua rantang berisi nasi dan
sayur. Juga sebotol air putih.
“Bapak harus pergi dari sini!”
“Saya mau menemui Pak Brosman.”
“Sudah janjian?”
“Tak perlu. Saya tahu juragan Anda itu orang baik. Pasti mau
menerima.”
Lelaki kekar itu mengangkat HP-nya, bicara seperlunya. “Bapak
dipersilakan masuk, tapi tetap saya awasi. Dan tas itu jangan dibawa. Tuan Brosman
tidak suka melihat tas menggelembung macam itu.” Lelaki kekar langsung menyita
tas.
Ruangan itu sangat luas, penuh cahaya. Dipandangi lampu-lampu kristal,
dinding-dinding yang seolah terbuat dari cahaya. Mbah Mahdi terpukau. Silau.
“Ini bukan rumah lagi, Pak. Tapi kerajaan,” gurau Mbah Mahdi membuka
dialog.
Pak Brosman, lelaki bewajah tampan dan berpenampilan dendy itu
tersenyum. Dia menawari berbagai minuman. Mbah Mahdi memilih air putih.
“Mungkin Bapak terkejut, menerima kedatangan saya.”
“Oo tidak. Sama sekali tidak. Saya biasa menerima tamu dadakan.
Bukankah hidup tak selalu bisa direncanakan?” Pak Brosman tersenyum. Tatapannya
membaca sosok Mbah Mahdi. Di matanya, wajah lelaki tua itu bercahaya, seluruh
tubuhnya dikelilingi cahaya. Jangan-jangan dia malaikat, pikir Pak Brosman.
Diam-diam Mbah Mahdi pun membaca wajah dan tubuh Pak Brosman. Lelaki
tegap, bersih dan serba klimis itu, di mata Mbah Mahdi, tampak seperti monster.
Besar dan hitam. Matanya merah. Gigi dan taringnya tampak runcing dan tajam.
Monster itu bergerak, mencakar-cakar bumi, menghisap seluruh isi bumi. Perutnya
membesar dengan ukuran yang tak bisa dibayangkan.
“Ada yang aneh dalam diri saya, Pak?” ujar Pak Brosman.
Mbah Mahdi menggeleng. Kembali dia menatap Pak Brosman. Monster itu hendak
mencekiknya. Mbah Mahdi melawan sekuat tenaga. Beruntung, dia lolos dari
cekikan.
“Bapak hebat. Saya biasa menerima tamu orang-orang suci, tapi mereka
tak sanggup bertahan lama di sini,” Pak Brosman menuang wine di gelas.
“Maksud Pak Brosman?”
“Saya tahu kedatangan bapak dan apa maunya bapak. Saya tidak percaya
atas apa yang hendak bapak omongkan. Saya tidak percaya hari kiamat sudah
dekat, karena saya tidak percaya hari kiamat itu ada. Hidup ini terlalu indah
dan mewah untuk dipenggal dengan sebuah kiamat. Paham?!”
Mbah Mahdi tersengat. “Tapi kiamat benar-benar sudah di ambang pintu
dunia.”
“Pintu dunia itu di mana? Di benua Amerika? Asia? Timur Tengah? Eropa?
Atau Indonesia?”
“Di dalam rongga batin iman kita!”
Brosman tertawa. “Iman kita?”
“Ya, iman kita kepada Tuhan.”
Brosman tersenyum, sinis. “Iman? Saya lebih suka menyebutnya mitos.
Dia tak lebih dari kepercayaan yang
setiap hari dipupuk agar tumbuh menguat, sehingga orang bisa sedikit tenang
bisa bersandar kepadanya. Iman cuma dibutuhkan orang-orang lemah dan kalah, seperti bapak.”
Kata-kata Brosman itu mencabik-cabik jiwa Mbah Mahdi. “Tapi, iman itu
ada. Harus ada. Manusia tidak lahir dari rekahan batu. Tapi diciptakan Tuhan.
Manusia hidup tak lepas dari kehendak Tuhan. Itulah pentingnya iman.”
“Manusia? Ooo Anda salah alamat. Aku bukan manusia. Atau setidaknya
tidak terlalu memikirkannya. Aku eksistensi yang mandiri.”
“Maksud, Pak Brosman?”
“Aku Brosman! Tak penting lagi status. Manusia. Monster. Buaya.
Serigala. Ular Piton. Atau tikus! Semua tak penting. Status hanya mengingatkan
aku pada sejarah. Dan aku sudah tidak butuh sejarah. Aku hidup sekarang.
Selamanya.”
Brosman mengembuskan napasnya kuat-kuat. Mbah Mahdi terpental
hingga ke kantor satuan pengamanan.
Lelaki kekar itu tertawa. Tubuh Mbah Mahdi diangkatnya, lalu diempaskan. Kepala
Mbah Mahdi terbentur pohon besar. Kepalanya berdarah. Mbah Mahdi pingsan.
Beberapa menit, mata Mbah Mahdi pelan-pelan terbuka. Dia tidak lagi
melihat kompleks rumah mewah. Semua sudah berubah menjadi hutan yang ditumbuhi
pohon, dengan daun-daun yang rimbun. Mata Mbah Mahdi melihat, setiap daun itu
memancarkan sinar ungu kehitaman. Mbah Mahdi percaya, sinar itu sinar
kegelapan, yang selalu tumbuh dan tumbuh dalam diri manusia.
Sejak saat itu, setiap memandang daun atau benda apa saja yang
terserak di tanah, Mbah Mahdi selalu merasakan ada sinar ungu kehitaman yang
mengancam dirinya. Dia menyebutnya daun-daun dosa yang terus tumbuh. Memenuhi
dunia. Maka, dia pun selalu membakarnya, termasuk daun-daun yang tumbuh di
pohon-pohon rumahnya, di belakang rumahku.
Setiap kutatap wajah tua itu, Mbah Mahdi selalu tersenyum. Mungkinkah
dia melihat daun-daun dosa itu telah tumbuh lebat dalam diriku? Aku tak tahu.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar